"Tekanan pelemahan rupiah terhadap dolar AS masih terjadi, inflasi dan defisit menjadi fokus pelaku pasar," kata ekonom Samuel Sekuritas Rangga Cipta di Jakarta, Selasa.
Ia menambahkan bahwa walaupun inflasi cukup terjaga di level rendah pada tahun ini, namun pada 2017 mendatang trennya cenderung naik. Selain itu, defisit fiskal yang berpotensi lebih lebar dari perkiraan pemerintah pada 2016 ini menyusul pendapatan amnesti pajak periode kedua yang masih minim turut mempengaruhi laju mata uang domestik.
Kendati demikian, lanjut dia, daya tarik imbal hasil yang cukup tinggi dari surat utang negara (SUN) serta ekspektasi membaiknya pertumbuhan ekonomi akibat kenaikan harga komoditas bisa mengembalikan sentimen positif terhadap rupiah di jangka menengah.
"Harga minyak masih cenderung menguat memanfaatkan momentum pemangkasan produksi anggota Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak Bumi (OPEC)," katanya.
Sementara itu, analis Binaartha Sekuritas Reza Priyambada mengatakan bahwa data pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Amerika Serikat periode kuartal ketiga 2016 yang membaik menjadi 3,5 persen, lebih tinggi dari ekspektasi 3,2 persen masih menopang dolar AS.
Namun ia mengharapkan bahwa sentimen dari penilaian Fitch Ratings (Fitch) yang telah meningkatkan "outlook credit rating" Indonesia pada "long term foreign" dan "local currency issuer default rating" menjadi positif serta rencana Bank Indonesia dan pemerintah untuk mengupayakan inflasi tahunan tidak melebihi 4 persen dapat mempertahankan rupiah stabil.
Editor: Hence Paat
COPYRIGHT © ANTARA 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar