Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, Bambang melalui keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta Senin menyatakan, pada 2016 sektor perkebunan memberikan sumbangan terhadap PDB nasional sebesar Rp429 triliun, lebih besar dari sektor minyak dan gas (migas) yang nilainya hanya Rp365 triliun.
"PDB sektor perkebunan tersebut terutama dari 15 komoditas yang menghasilkan devisa dan sumbangan terbesar berasal dari kelapa sawit yang mencapai Rp260 triliun," ujar Bambang pada Peringatan Hari Perkebunan Ke-60 Tahun 2017 di Kampus Institut Pertanian Stiper (Instiper) Yogyakarta.
Menurut dia, perkebunan memberikan peran yang sangat penting bagi fundamental ekonomi bangsa Indonesia karena dalam kondisi yang belum terurus dengan baik, perkebunan dapat memberikan sumbangan besar terhadap penerimaan negara.
Dia menyebutkan, produktivitas kelapa sawit rata-rata nasional baru sekitar dua ton per hektare (ha), padahal perusahaan sudah mencapai 8-10 ton/ha.
Untuk itu, pemerintah bertekad meningkatkan daya saing perkebunan nusantara, karena dengan kondisi yang belum baik saja sudah memberi andil terbesar terhadap ekonomi, apalagi kalau mampu memperkuat dan memperbaikinya.
Oleh karena itu, Bambang mengajak semua komponen bangsa untuk ikut memperkuat komoditas perkebunan nasional di mata dunia sebab, banyak negara yang tidak menghendaki perkebunan di Indonesia maju.
"Untuk itu, kita harus siap mengawal perkebunan Indonesia agar bebas dari tekanan luar negeri," ujar Bambang.
Dia menambahkan, berbagai isu negatif menerpa komoditas sawit, padahal sawit penyelamat hutan tropis dunia dan mengusahakan sawit dapat menghasilkan pangan maupun energi.
Sumber kemakmuran
Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud mengatakan, perkebunan berperan sebagai sumber kemakmuran dan pemacu pembangunan wilayah terpencil.
"Daerah terpencil mulai terbangun dari perkebunan. Sebab yang dapat membangun infrastruktur, komunitas sosial dan ekonomi baru berasal dari pengembangan tanaman perkebunan," ujar Musdhalifah Machmud.
Rektor Institut Pertanian Stiper (Instiper) Yogyakarta Purwadi menuturkan, perkebunan menjadi sumber kemakmuran dan kesejahteraan warga, karena mereka mampu mengubah cara pandang dari sumber eksploitasi menjadi teknik budidaya dengan baik.
Tidak gentar
Sedangkan Ketua Komisi IV DPR Edhy Prabowo menambahkan, Indonesia tidak gentar dengan resolusi sawit Uni Eropa, karena pasar ekspor sawit ke wilayah tersebut hanya 15 persen dari total volume nasional.
"Apabila kita hentikan ekspor minyak sawit ke Eropa, saya yakin mereka akan kewalahan. Meskipun mereka mengakui impor sawit di Indonesia terus meningkat mencapai dua miliar dolar AS," katanya.
Menurut dia, resolusi sawit Uni Eropa adalah bukti bahwa antar negara tidak ada saling membantu, apalagi kebijakan tersebut membuat rakyat Indonesia susah.
"DPR Indonesia telah minta kepada parlemen Uni Eropa untuk membatalkan resolusi tersebut," katanya.
Senada dengan itu, pengamat politik J. Kristiadi mengatakan persoalan sawit di pasar internasional adalah persoalan kepentingan yang mana negara maju menggunakan segala instrumen untuk menghambat sawit bahkan mereka membuat akal-akalan dengan macam-macam skema sertifikasi.
"Antar negara tidak ada pertemanan, yang ada persaingan. Sehingga Indonesia harus menggunakan keindonesiaan untuk memperjuangan sawit di kancah internasional," kata Kristiadi.
Menurut Kristiadi, seluruh pemangku kepentingan di Tanah Air harus memperkuat dan meyakinkan pihak asing bahwa Indonesia sangat berkomitmen dalam melakukan praktik budidaya perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan.
Hal itu dibuktikan dengan adanya sertifikasi Indonesia Sustainability Palm Oil (ISPO), yang mana hingga saat ini jumlah sertifikasi ISPO yang telah diterbitkan sebanyak 346 dengan luas lahan 2,041 juta ha dengan total produksi CPO mencapai 8,76 juta ton.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar