"Tidak ada itu, semua dalam kondisi baik," kata Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso di Gedung DPR, Jakarta, Rabu.
Instabilitas keamanan dan ekonomi yang dimaksud adalah maraknya aksi teror, dan juga tekanan terhadap nilai tukar rupiah yang terus berlanjut hingga menyentuh level depresiasi 4,53 persen hingga 21 Mei 2018 (year to date/ytd).
Penarikan simpanan di bank juga dinilai bisa terjadi dengan maraknya seremonial politik, pemilu kepala daerah secara serentak pada tahun ini.
OJK masih optimistis perbankan dapat menyalurkan fungsi intermediasinya sesuai target pertumbuhan kredit di Rencana Bisnis Bank (RBB) sebesar 12,22 persen (yoy).
Adapun menurut data OJK, per Maret 2018, terdapat perlambatan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) menjadi 7,66 persen (year on year/yoy) dibanding Februari 2018 yang sebesar 8,44 persen (yoy).
Wimboh mengklaim penurunan itu karena investor melakukan penyesuaian ulang portofolio investasi, termasuk di instrumen pendanaan perbankan.
Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo menyebutkan gangguan keamanan dan juga depresiasi nilai tukar rupiah memang sepatutnya menjadi perhatian regulator. Gangguan keamanan terkait aksi teror bom, kata Agus, memberikan pengaruh kepada investor walaupun minim.
"Aksi teroris bom itu bisa berdampak negatif kalau dipelintir-pelintir. Dan ini bisa buat dana keluar," ujar Agus beberapa waktu lalu.
Sedangkan depresiasi rupiah disebabkan permasalahan struktural yakni masih defisitnya neraca transaksi berjalan. Tahun ini, BI memproyeksikan defisit neraca transaksi berjalan di 2,3 persen Produk Domestik Bruto atau sebesar 23 miliar dolar AS.
Di pasar spot, rupiah terus diperdagangkan di level Rp14.100 per dolar AS, dan sempat menyentuh level psikologis baru Rp14.200. Level tersebut sudah diakui BI telah jauh melewati nilai fundamental rupiah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar