"Oleh karena itu, pernyataan bahwa 'tambahan utang tidak produktif karena tidak diikuti jumlah belanja modal yang sama besarnya' adalah kesimpulan yang salah," ujar Sri Mulyani.
Sri Mulyani mengatakan jumlah nominal utang dengan belanja modal atau infrastruktur tidak bisa dibandingkan karena adanya dua hal yang harus dipahami sepenuhnya.
Pertama, belanja modal tidak seluruhnya berada di Kementerian Lembaga karena ada juga yang masuk dalam pagu Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Dalam APBN 2018, tercatat dari dana transfer ke daerah sebesar Rp766,2 triliun, sebanyak 25 persen adalah belanja modal, meski belum semua pemerintah daerah mematuhinya.
Kedua, untuk kategori belanja infrastruktur, tidak seluruhnya merupakan belanja modal, karena untuk membangun infrastruktur juga diperlukan institusi dan perencanaan yang masuk dalam pos belanja barang di APBN.
"Ekonom yang baik sangat mengetahui bahwa kualitas institusi yang baik, efisien dan bersih adalah jenis 'soft infrastructure' yang sangat penting bagi kemajuan suatu perekonomian," kata Sri Mulyani.
Sebelumnya, Indef mencatat adanya struktur belanja modal pemerintah yang relatif stagnan, atau hanya tercatat sekitar 14-15 persen, meski total porsi utang meningkat.
Namun, dalam rilis resminya, Indef justru membandingkan struktur belanja modal tersebut dengan porsi belanja infrastruktur dalam APBN 2015 yang proporsinya mencapai 18,21 persen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar