"Kita bersyukur tidak terlalu dalam karena memang dalam kondisi seperti ini perbandingan antara negara menjadi sangat penting," kata Suahasil di Jakarta, Rabu.
Suahasil mengatakan fenomena volatilitas kurs tidak hanya dialami oleh Indonesia, namun juga dialami oleh banyak negara, sebagai respon pelaku pasar dari perbaikan ekonomi di AS.
Dalam situasi saat ini, menurut Suahasil, kondisi Indonesia masih lebih baik karena pemerintah secara konsisten telah melaksanakan reformasi dalam bidang ekonomi yang berkelanjutan.
"Kalau tidak membikin reformasi, tidak membangun infrastruktur, tidak membangun perlindungan sosial yang baik, kita akan volatile," katanya.
Suahasil menyebutkan berbagai negara seperti Argentina dan Turki yang tidak memiliki fundamental ekonomi yang baik, membuat mata uangnya rentan terhadap penguatan dolar AS.
"Kalau Indonesia kurang baik, tapi mempunyai reformasi yang bisa dipercaya, Indonesia akan ada di posisi yang lebih baik," jelasnya.
Sebelumnya, nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta, Rabu pagi, bergerak melemah sebesar 30 poin menjadi Rp14.073 dibandingkan posisi sebelumnya Rp14.043 per dolar AS.
Analis Binaartha Sekuritas Reza Priyambada di Jakarta mengatakan minimnya sentimen positif yang beredar di dalam negeri membuat pergerakan nilai tukar rupiah kembali melemah terhadap dolar AS.
Selain itu, pelaku pasar juga merespon pernyataan salah satu anggota Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) Raphael Bostic yang menyakini adanya kenaikan suku bunga The Fed pada tahun ini sebanyak tiga kali.
"Perekonomian AS yang dinilai cenderung membaik menyebabkan tekanan inflasi akan meningkat sehingga perlu diredam dengan kenaikan suku bunga," katanya.
Baca juga: Rupiah melemah ke Rp14.073 pagi ini
Baca juga: Menkeu waspadai pengaruh nilai tukar terhadap inflasi
Baca juga: BI: volatilitas kurs tidak setinggi 2013-2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar